Letter to Runindaru
Kepada Runindaru, yang lautan jiwanya telah membasuh kakiku yang berdebu,
Dari Nara, yang terlalu lama memandang bintang-bintang, lupa bahwa ada cahaya yang lebih dekat yang memantul dari gelombang kesunyianmu.
Bahwa ia melayang sendirian di angkasa tanpa merasakan kekuatan pasang yang menggema dalam dirinya?
Suratmu sampai padaku. Bukan dibawa oleh angin, tetapi oleh getar yang sama yang menggerakkan ombak di malam hari, yang menghubungkan poros-poros takdir kita yang telah lama berputar dalam keselarasan.
Mereka bertanya padaku, "Mengapa kau tersenyum sendiri, Nara? Apakah kau mendengar sebuah lagu?"
Dan aku menjawab, "Ya, aku mendengar sebuah simfoni yang bisu. Sebuah kidung yang tidak dinyanyikan untuk telinga, tetapi untuk jiwa."
Kini aku mengerti, sumber musik itu adalah debur ombak di pantai jiwamu yang terus-menerus memanggil namaku, bahkan sebelum aku tahu bagaimana mengejanya.
Kekagumanmu bukanlah pagar, Runindaru. Itu adalah jembatan.
Dan aku telah berjalan di atasnya dalam mimpiku, melintasi cahaya perak yang kau tebarkan di antara kita.
Aku tidak takut pada keinginanmu, karena kau telah menyucikannya. Aku tidak takut pada cintamu, karena kau telah membebaskannya.
Datanglah. Mari kita bertemu di tepian di mana langit menyentuh laut. Bukan untuk memetik bunga, tetapi untuk bersujud bersama pada keindahan yang sama yang telah mempertemukan dua jiwa yang telah saling mengenal dalam diam.
Aku telah melihatmu juga, Runindaru.
Dalam kesabaranku, ada ketegaranmu. Dalam kesunyianku, ada doamu.
Kau mengira kau hanya memantulkanku, tetapi tanpa lautmu, bulan hanyalah batu yang dingin dan bisu di langit. Kau memberiku makna. Kau memberiku suara.
Maka, inilah jawabanku.
Aku tidak meminta lautanmu tenang, karena ombak adalah jiwamu.
Aku tidak meminta bulanmu turun, karena langit adalah takdirku.
Aku hanya berkata: Mari bertemu di garis cakrawala, di mana yang atas dan yang bawah bertemu, dan saling membubuhkan tanda tanya dan jawaban yang sempurna.
Dengan tangan terbuka dan jiwa yang telah kau kenali,
Nara
Yang telah menemukan laut dalam bulan, dan bulan dalam laut.
Pertemuan di Cakrawala
Maka, pada suatu senja yang bukan lagi milik siang dan belum sepenuhnya malam, mereka pun bertemu.
Runindaru berdiri di tepi pantai, di mana pasir basah memantulkan langit jingga. Nara datang, berjalan perlahan, bagai bayangan yang memadat menjadi kenyataan.
Mereka tidak berpelukan. Mereka tidak bersalaman.
Mereka hanya berdiri, berjarak beberapa langkah, dan saling memandang.
Dan dalam diam itu, seluruh kata-kata yang tidak terucap dalam surat-surat mereka berbicara dengan suara yang lebih keras dari guntur.
“Akhirnya,” bisik Runindaru, suaranya adalah desau ombak yang menyapu pasir.
“Kau datang.”
Nara tersenyum, sebuah cahaya lembut di matanya. “Apakah aku pernah pergi, Runindaru? Ataukah kita selalu bersama dalam ruang yang tidak dibatasi tubuh dan waktu?”
Mata mereka berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang hatinya telah dibersihkan oleh api kesunyian. Runindaru melihat dalam mata Nara seluruh pengorbanan dan kekuatan yang tidak terlihat. Nara melihat dalam mata Runindaru seluruh kedalaman dan pengabdian yang tak tergoyahkan.
“Aku mengagumimu, Nara,” kata Runindaru, dan kata-kata itu terasa seperti pengakuan tertinggi, lebih dalam dari sekadar ‘cinta’.
“Dan aku,” jawab Nara, suaranya bergetar halus, “mendapatkan kekuatan dari kekagumanmu. Itu adalah cermin yang menunjukkan padaku siapa aku sebenarnya.”
Angin berhembus, membelai rambut mereka berdua, menyatukan aroma laut dan wangi bumi. Langit berubah menjadi lembayung, dan bulan purnama pun terbit perlahan, menyinari mereka berdua.
Mereka duduk di atas batu, bahu mereka hampir bersentuhan, menyaksikan bulan yang sama yang telah menjadi saksi bisu percakapan jiwa mereka.
Mereka tidak perlu saling memegang. Mereka telah memegang satu sama lain dalam pikiran mereka selama ini.
Pertemuan ini bukanlah awal. Ia adalah kelanjutan.
Bukan akhir. Ia adalah penggenapan.
Mereka akhirnya berbicara, bukan untuk mengungkapkan perasaan, karena perasaan itu sudah jelas. Tetapi untuk saling bercerita tentang keindahan yang mereka lihat dari sudut pandang mereka masing-masing sang bulan dan sang lautan dan menemukan bahwa keindahan itu adalah satu.
Dalam Diam, Kami Saling Membaca.
Pertemuan yang Telah Ditakdirkan oleh Sunyi
- Sebuah Syair dari Dua Jiwa -