A Butterfly
Ia tidak duduk karena lelah raga, tetapi karena hatinya tak tahu ke mana lagi harus melangkah.
Sekelilingnya adalah dunia yang terus bergerak: daun-daun gugur tanpa izin, anak-anak tertawa seperti tak pernah mengenal luka, dan langit memerah seperti seorang tua yang malu mengingat masa lalunya.
Dan di tengah keheningan yang lebih jujur daripada kata-kata, seekor kupu-kupu hinggap di lututnya.
Bukan kupu-kupu biasa tidak jika kau melihatnya dengan mata jiwa. Sayapnya berwarna jingga api, seperti senja yang terkoyak oleh rindu. Di tepinya, garis-garis hitam seperti kenangan yang belum selesai. Ia kecil, ya, namun dalam diamnya, ia membawa beban yang lebih berat daripada gunung-gunung.
Pemuda itu terdiam. Ia tak mengusir, dan kupu-kupu itu tak gentar.
Dalam getar udara yang halus, kupu-kupu itu bersuara bukan dalam bahasa dunia, tetapi dalam bahasa yang hanya bisa didengar oleh mereka yang telah lama kehilangan dirinya:
“Aku bukan sekadar serangga. Aku adalah puisi yang pernah kau abaikan.
Aku adalah ketenangan yang menunggu di balik kegelisahanmu.
Aku adalah serpihan dari dirimu sendiri, yang terbang menjauh saat kau terlalu sibuk menjadi orang lain.”
Pemuda itu memejamkan mata.
Ia telah lama tak bicara kepada siapa pun, bukan karena dunia membungkamnya, tetapi karena ia sendiri kehilangan bahasa untuk menjelaskan rasa. Dan kini, rasa itu datang dalam bentuk makhluk rapuh yang bisa diterbangkan angin.
Dengan suara yang bergetar, pemuda itu bertanya dalam hati:
“Mengapa engkau datang sekarang? Ketika aku telah menyerah pada pencarian?
Ketika aku tak lagi menulis puisi, tak lagi percaya pada keajaiban, tak lagi menunggu sesuatu pun datang?”
Kupu-kupu itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengepakkan sayapnya pelan seperti seorang ibu yang menyelimuti anaknya yang ketakutan.
Lalu ia berkata:
“Karena hanya hati yang hancur bisa menampung langit.
Karena hanya mereka yang lelah yang akhirnya mengerti bahwa istirahat adalah bentuk doa.
Aku datang, bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai pertanyaan yang engkau lupakan.”
Matahari mulai tenggelam perlahan, dan bayangan dedaunan menari di tanah seperti kenangan yang menolak dilupakan. Pemuda itu menatap tanah, lalu menatap langit, lalu menatap dirinya sendiri untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Aku telah berjalan jauh,” katanya,
“Tapi setiap tempat terasa sama.
Aku mencari makna, tapi yang kutemukan hanya kebisingan.
Aku ingin menjadi seseorang, tapi tak tahu siapa yang harus aku jadi.”
Kupu-kupu itu lalu berjalan perlahan ke arah jantungnya, seolah hendak menepuk dada pemuda itu dengan lembut. Dan ia berkata:
“Kau tidak diciptakan untuk menjadi siapa-siapa.
Kau diciptakan untuk menjadi engkau.
Tidak lebih, tidak kurang.
Dan makna bukanlah sesuatu yang kau temukan, tetapi sesuatu yang muncul saat kau berhenti mencarinya.”
Angin datang perlahan. Tidak seperti biasanya kali ini ia membawa aroma tanah basah, seperti hujan yang pernah turun di masa kecil. Aroma itu bukan hanya harum, tapi juga akrab. Seolah ada bagian dari masa lalu yang kembali, tidak untuk tinggal, tetapi untuk memberi salam.
Kupu-kupu itu mulai mengepakkan sayapnya, bersiap pergi. Ia telah menunaikan tugasnya: membangunkan jiwa yang tertidur.
Sebelum terbang, ia berkata satu hal terakhir:
“Jika esok engkau melihat langit, dan merasa kecil,
Ingatlah: bahkan aku, sekecil ini, bisa singgah di hatimu dan mengubah segalanya.
Maka jangan pernah remehkan keheninganmu,
karena dari sanalah suara Tuhan paling jelas terdengar.”
Lalu ia pun terbang.
Dan pemuda itu duduk lebih tegak. Bukan karena beban hidupnya telah hilang, tapi karena ia kini tahu bahwa beban itu bukan musuh. Ia adalah sahabat perjalanan, yang membentuk punggung agar mampu berdiri.
Ia melihat langit kini bukan sebagai atap dunia, tapi sebagai cermin jiwanya.
"Jangan katakan: Aku telah menemukan kebenaran. Katakanlah: Aku telah menemukan suatu kebenaran."
"Karena kebenaran bukanlah satu gunung yang berdiri sendiri, tetapi gugusan bukit yang tak berujung."
Pemuda itu berdiri, dan melangkah.
Ia tak tahu ke mana arah langkahnya. Tapi ia tahu kini: berjalan bukan soal tujuan, tapi soal keberanian untuk tetap melangkah bahkan ketika dunia tidak menawarkan jawaban.
Dan di suatu tempat dalam hatinya, kupu-kupu itu terus terbang lembut, bebas, dan abadi.
Suara Tuhan dalam Seekor Kupu-Kupu
Di senja yang hampir sunyi,
seekor kupu-kupu hinggap di lututku.
Ia tak berkata,
namun hatiku mendengar:
"Aku adalah bisikan Tuhan,
yang datang saat kau berhenti mencari."
meninggalkan sepi yang hangat,
dan sebuah makna
yang tak butuh suara untuk tinggal.