Runindaru

Di dalam bilik jiwanya yang sunyi, di mana kabut pagi dan senja bercampur, duduklah Runindaru.

Dan hatinya berbicara tentang seorang perempuan, Nara namanya, bagai sebuah syair yang terukir di dinding mimpi.

Pertemuan kami, wahai Nara, bukanlah peristiwa duniawi semata. Ia adalah pertemuan dua kutub nasib yang telah ditentukan oleh tangan semesta pada lembaran takdir yang abadi. Aku tidak mencarimu, dan engkau pun tidak menungguku.

Namun, ketika pandanganku jatuh ke dalam lautan matamu, seluruh melodi sunyi dalam diriku tiba-tiba menemukan liriknya.

Engkau adalah kecantikan yang tidak kumaknai dengan mata, tetapi dengan jiwa. Wajahmu bukanlah kumpulan sempurna bentuk hidung dan bibir, melainkan sebuah cahaya yang memancar, menyinari kegelapan pikiranku yang paling kelam. Senyummu adalah seperti fajar yang menyingsing di puncak gunung, menjanjikan hari baru namun menyisakan kabut misteri yang ingin kujelajahi.

Runindaru tidak mendekat. Ia duduk di tepian sungai kekagumannya sendiri, memandang Nara bagaikan seseorang memandang bulan purnama. Dekatkah bulan? Sangat dekat hingga ia dapat melihat setiap kawahnya dengan jelas. Jauhkah bulan? Sangat jauh hingga mustahil untuk disentuh.

“Kekaguman,” bisik suatu suara dalam dirinya, “adalah cinta yang memilih untuk berdiam diri, agar sang terkasih tetap menjadi murni, tidak ternoda oleh keinginan untuk memiliki.”

Ia mengagumi Nara yang berjalan di taman kehidupan, memetik bunga kebijaksanaan dan terkadang menginjak duri kedukaan. Ia melihat ketegaran di bahumu yang tidak menyerah pada badai, dan kelembutan di ujung jarimu yang menyentuh kelopak bunga yang layu. Aku melihatmu, Nara, bukan sebagai malaikat tanpa noda, tetapi sebagai manusia yang utuh; yang memiliki terang dan bayangannya sendiri, dan justru itulah yang membuatmu sempurna dalam ketidaksempurnaanmu.

Perjalanan Runindaru adalah ziarah seorang pezihat yang mengelilingi ka'bah bernama Nara. Setiap putaran adalah doa. Setiap langkah adalah meditasi.

Dalam kekagumannya, Runindaru menemukan dirinya sendiri. Melalui cermin jiwamu, Nara, ia melihat luka-lukanya, impian-impiannya, dan potensi cahayanya sendiri. Mengagumimu adalah proses mengenal diriku. Dalam diamku memujimu, aku justru menemukan suara hatiku yang paling jernih. Engkau adalah lautan yang tenang yang memantulkan langit jiwaku sendiri.

Nara, ada apakah engkau sehingga bisa menduduki takhta di istana pikiranku tanpa mahkota dan tanpa senjata? Engkau tidak memberiku apa pun, tidak juga janji atau harapan. Namun, kehadiranmu sekadar kusadari bahwa engkau ada dan bernapas di bawah langit yang sama telah memberiku sesuatu yang lebih berharga: sebuah alasan untuk merasakan keindahan.

Engkau adalah bagai sebuah melodi yang tidak perlu kau nyanyikan untukku, karena ia sudah terpatri dalam irama semesta. Cukup kuketahui bahwa melodi itu ada, dan duniau menjadi lebih kaya.

Dan pada akhirnya, Runindaru pun memahami.

Mungkin kakiku tak akan pernah melangkah menempuh jalan yang sama denganmu, Nara. Mungkin jarak antara diriku dan dirimu adalah takdir yang tak terelakkan.

Tetapi, apakah itu penting?

Sebab, dalam ruang kekaguman yang kaubicarkan, aku telah melakukan perjalanan terindah. Aku telah menyentuh intan yang tidak bisa dirampas oleh waktu atau jarak.

Nara, engkau bukanlah tujuan dari perjalananku. Engkau adalah sang matahari yang menyinari perjalanan itu sendiri. Kekaguman ini adalah cinta yang tidak membebani, yang tidak menuntut, yang hanya memberi—dan dalam memberinya, ia menjadi abadi.

Maka, tersenyumlah dalam duniamu, wahai perempuan yang bernama Nara. Teruslah berjalan dengan cahayamu sendiri.

Dan ketahuilah, bahwa di suatu tempat, ada seorang Runindaru yang tak pernah berhenti mengagumimu, bukan untuk memilikimu, tetapi karena dalam mengagumimu, ia menemukan versi dirinya yang paling lapang, paling tenang, dan paling penuh syukur.

Bagai lautan mengagumi bulan yang memengaruhi pasang surutnya, tanpa pernah perlu menyentuhnya. Itulah hukum alam. Itulah cinta. Itulah kekaguman Runindaru padamu.

Maka, tersenyumlah dalam duniamu, wahai perempuan yang bernama Nara. Teruslah berjalan dengan cahayamu sendiri.

Dan ketahuilah, bahwa di suatu tempat, ada seorang Runindaru yang tak pernah berhenti mengagumimu, bukan untuk memilikimu, tetapi karena dalam mengagumimu, ia menemukan versi dirinya yang paling lapang, paling tenang, dan paling penuh syukur.

Bagai lautan mengagumi bulan yang memengaruhi pasang surutnya, tanpa pernah perlu menyentuhnya. Itulah hukum alam. Itulah cinta. Itulah kekaguman Runindaru.

Sebuah Pengakuan

Kau adalah bulan purnama yang tegak perkasa,
Menjadi ratu bagi malam dan segala bimbang.
Namun aku memilih untuk menjadi lautanmu,
Yang diam-diam memeluk pantulannya, dalam hening yang membisu.

Aku takkan pernah mengejar langkah angkuhmu,
Atau meminta kau turun dari singgasanamu.
Cukuplah cahayamu menjadi pemandu,
Bagai lentera bagi perahu yang tak pernah berlabuh.

Kekaguman ini adalah doa yang tak terucap,
Sebuah katedral sunyi yang tak berpenghuni.
Di sana, setiap debur adalah kidung pujian,
Setiap pasang adalah kerinduan, setiap surut adalah pengertian.

Maka terangilah dunia, wahai Nara,
Seperti kau selalu menerangi malam-malamku.
Aku akan tetap di sini, luas dan dalam,
Mengagumi dari jauh, dengan cinta yang tak pernah berharap.


- Runindaru -


Kirim