Traces of Missing

Kereta Taksaka melaju perlahan meninggalkan Stasiun Pasar Senen, meninggalkan gemerlap Jakarta yang tak pernah tidur. Di dalam gerbong kelas satu, Arya duduk menatap jendela, matanya mengikuti lampu-lampu kota yang berubah menjadi garis-garis samar yang menghilang di balik kegelapan malam. Ia menarik syal kotak-kotak yang sudah mulai pudar di lehernya lebih erat, seperti berusaha memeluk hangat kenangan yang sudah lama tersimpan.

Perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat. Bagi Arya, ini adalah perjalanan untuk pulang tapi bukan ke rumah, melainkan ke masa lalu, ke sebuah kota yang selama ini menghantui setiap langkahnya: Jogja. Ia ingat pertama kali menginjakkan kaki di kota itu, dengan segala kehangatan dan sederhana yang menyambutnya. Kota yang mengajarkan arti tawa dan tangis, janji dan perpisahan.

Di depan matanya muncul bayangan Nisa, gadis dengan senyum yang mampu menenangkan gelombang hati yang paling ganas sekalipun. Mereka bertemu di sebuah angkringan kecil di Malioboro, di bawah cahaya temaram lampu jalan dan aroma kopi yang pekat. Nisa dengan suaranya yang lembut, bercerita tentang mimpi-mimpi sederhana, sementara Arya, yang baru saja datang dari luar kota, merasa dunia seperti menemukan tempatnya di situ.

Malam-malam mereka diisi oleh tawa dan percakapan tanpa akhir, membahas segalanya dari masa depan sampai lagu-lagu yang mereka suka. “Kalau kita terpisah suatu hari nanti, tetaplah pulang ke Jogja,” kata Nisa di sebuah malam penuh bintang, “Karena di sini ada bagian dari kita yang tak akan pernah hilang.”

Janji itu kini bergaung di kepala Arya ketika kereta terus melaju ke selatan. Tapi hidup, seperti yang sering ia pelajari, tidak selalu berjalan sesuai rencana. Nisa pergi meninggalkannya tanpa kata, membiarkan Arya tenggelam dalam kesunyian yang berat. Pesan-pesan yang dulu mengisi ponselnya kini sunyi, dan rasa kehilangan menjadi teman setianya yang paling pahit.

Kereta membelah malam, dan Arya membuka buku catatan yang telah lama ia bawa. Halaman-halaman penuh coretan puisi dan kalimat-kalimat yang pernah ia tulis untuk Nisa dan untuk dirinya sendiri. Dengan pena, ia menambahkan bait-bait baru, mencoba merangkai kembali serpihan-serpihan hatinya yang terpecah.

Dalam keremangan gerbong, ia merenung tentang arti pulang. Bukan sekadar kembali ke tempat fisik, tapi sebuah perjalanan batin untuk berdamai dengan luka dan rindu yang selama ini ia simpan. Ia ingat kata-kata Khalil Gibran, tentang cinta yang tidak memiliki dan tidak dimiliki, yang cukup untuk cinta itu sendiri. Arya sadar, bahwa perjalanan ini adalah tentang belajar melepaskan, namun tetap mencintai.

Fajar mulai menyingsing saat kereta memasuki stasiun Lempuyangan. Udara Jogja pagi itu segar dan penuh aroma tanah basah, daun-daun basah oleh embun, dan bau asap tembakau dari angkringan yang mulai beraktivitas. Arya turun, menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara Jogja memenuhi paru-parunya. Kota ini tidak banyak berubah, tetap seperti lukisan lama yang selalu mengundang rindu.

Ia berjalan perlahan menyusuri Malioboro yang belum terlalu ramai, menikmati suara alat musik angklung dari kejauhan, tawa pengunjung yang mulai ramai, dan aroma kopi yang mengepul dari warung-warung. Setiap sudut kota ini seperti menyimpan cerita, dan Arya tahu bahwa ia datang untuk menemukan satu cerita yang dulu sempat hilang.

Di sudut jalan, ia berhenti di sebuah angkringan kecil dan memesan segelas teh hangat. Ia duduk sendiri, membiarkan pikirannya mengembara ke masa-masa lalu dan memandang wajah Nisa yang selalu tersenyum di bayangannya. Tapi kali ini, ia tidak lagi merasa sakit. Ada rasa damai yang mulai tumbuh, seperti matahari yang perlahan menyingkirkan kabut pagi.

Arya melanjutkan langkahnya ke Taman Sari, tempat yang dulu menjadi saksi bisu percakapan panjang mereka. Di bangku taman itu, ia mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis puisi. Kata-kata mengalir dari dalam hatinya, mengikat semua rasa menjadi satu rindu, harapan, luka, dan penerimaan.

Ia menulis:

Jogja,
Di rel-relamu aku belajar menapak luka,
Menerima yang pergi, menyapa yang tersisa.

Kau ajarkan aku bahwa cinta bukan untuk memiliki,
Tapi untuk melepas dan tetap merindukan.

Seperti kata Gibran,
“Dalam perpisahan, ada pertemuan baru.”

Maka di setiap langkah pulang ini,
Aku temukan diriku yang hilang,
Dan damai yang lama kutunggu.

Jogja, aku pulang.

Menulis puisi itu membuat Arya tersenyum kecil. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan menemukan kembali dirinya yang pernah terluka dan kini mulai pulih. Jogja bukan hanya kota kenangan, tapi tempat di mana hatinya belajar berdamai dan mengerti arti pulang yang sesungguhnya.

Dengan hati yang lebih ringan, Arya berdiri dan memandang langit biru pagi Jogja. Ia siap melangkah ke depan, membawa semua cerita lama sebagai pelajaran dan membuka ruang untuk harapan baru.


Kirim