Dialogue With The Night

Malam melarut dalam sunyi seperti tinta pada surat yang tak pernah dikirim. Di sebuah kota kecil, jauh dari pusat segala hiruk-pikuk, seorang pemuda duduk sendirian di luar kedai yang telah lama tutup. Meja yang dulu menjadi tempat tawa dan cerita kini hanya menjadi saksi bisu bagi seseorang yang memilih diam.

Namanya Arsan. Ia bukan penyair, bukan filsuf, bukan pula pecandu kesendirian. Tapi malam itu, dan malam-malam sebelumnya, ia duduk di tempat yang sama. Di bawah cahaya lampu jalan yang tak berkedip, ia meletakkan kartu-kartu remi seperti sedang mencoba meramal masa depannya sendiri.

Di depannya ada botol minuman jeruk bertuliskan *GOLPIA*, kaleng soda, dan sebuah cincin kuning yang tak pernah ia kenakan. Itu bukan miliknya, tapi ia selalu membawanya. Ia berkata pada angin, “Cincin ini pernah hampir menjadi janji.”

Tak ada jawaban, hanya angin yang lewat seolah tak mau mencampuri urusan hati manusia.

Beberapa musim lalu, meja itu tak pernah sepi. Di seberang tempat Arsan duduk, biasa ada seorang gadis bernama Raya. Suaranya tidak nyaring, tapi cukup untuk mengusir sunyi dari dada. Senyumnya tidak megah, tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sebentar.

Mereka tak pernah pacaran, tak pernah mengucap janji. Tapi keduanya tahu: cinta kadang tak butuh pernyataan, hanya kehadiran.

Raya gemar bermain kartu, bukan untuk menang, tapi untuk berbagi cerita. “Setiap kartu,” katanya, “punya makna. Tapi kita lebih sering sibuk mencari kemenangan daripada memahami yang terpegang.”

Suatu hari, Raya pergi. Bukan karena marah, bukan karena Arsan salah. Ia pergi karena hidup membawanya ke arah lain. Tanpa perpisahan, tanpa pesan. Hanya diam. Hanya hilang.

Dan Arsan, sejak hari itu, datang setiap malam. Duduk di meja yang sama. Bermain kartu sendirian. Kadang menang, tapi selalu kalah dalam rasa.

Suatu malam, ketika langit tak lagi memiliki bintang untuk ditawarkan, Arsan berbicara dalam hati.

“Raya, di manakah kau? Adakah engkau juga duduk di kota lain, di bawah lampu yang lain, membawa kenangan yang sama?”

Ia membuka ponselnya. Tidak untuk mengirim pesan. Hanya untuk melihat terakhir kali Raya membalas tiga bulan lalu. Satu kata: “Maaf.”

Ia tak membalas. Tidak tahu harus menjawab apa pada kata yang terlalu dalam itu.

Angin menyentuh pipinya, dingin tapi akrab. Ia menatap kartu di meja. Ada ratu, ada as, ada angka sembilan yang berulang.

Lalu terdengar suara kecil dari hatinya sendiri, “Mengapa engkau masih di sini?”

Dan ia menjawab sendiri, “Karena cinta yang tidak tuntas tidak mati, hanya berubah bentuk. Kini ia menjadi ritual. Menjadi doa yang duduk.”

Di meja itu, Arsan tidak benar-benar sendiri. Ia ditemani bayangan Raya yang diciptakan oleh kenangannya sendiri. Terkadang ia tersenyum pada kursi kosong seakan seseorang benar-benar duduk di sana.

Dan mungkin dalam dimensi yang tak terlihat oleh mata biasa Raya memang duduk di sana, bukan secara fisik, tapi secara jiwa.

"Kita tidak butuh tubuh untuk hadir," Raya pernah berkata,
"Selama hati masih menyebut nama, aku akan duduk di seberangmu."

Pada suatu malam yang lebih sunyi dari biasanya, Arsan menulis di layar ponselnya:

“Raya, aku tidak marah kau pergi. Aku tidak sedih karena ditinggalkan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa tempat ini masih menyimpan namamu.
Meja ini masih ingat tawa kita. Kartu ini masih menyimpan strategi kecilmu yang selalu kalah karena sengaja.
Dan aku... masih duduk di sini.
Bukan karena aku tidak bisa pergi, tapi karena aku tidak ingin.”

Ia tidak pernah mengirim pesan itu. Ia hanya menyimpannya dalam catatan, sebagai surat untuk seseorang yang mungkin tak akan membaca.

Waktu akhirnya mengajari Arsan bahwa tidak semua yang dicintai harus dimiliki. Dan tidak semua yang ditinggalkan adalah kehilangan. Kadang, cinta yang tidak selesai menjadi guru paling setia tentang keikhlasan.

Ia masih datang ke meja itu. Tapi kini, ia tidak lagi menunggu Raya. Ia datang untuk dirinya sendiri. Untuk menghormati rasa yang pernah ada, dan untuk menjaga kenangan dari menjadi sia-sia.

Malam itu, sebelum pulang, ia menaruh cincin kecil itu di tengah meja, di atas kartu ratu. Lalu ia berdiri, dan pergi tanpa menoleh.

Lampu jalan tetap tidak berkedip.

Aku Masih Duduk di Sini

Aku tak pernah mengikatmu dengan janji,
Tapi hatiku tetap diam di sini.
Pada malam yang menggigil dan sepi,
Kuselimuti kenangan agar tak mati.

Kau tak salah karena memilih jalan,
Aku pun tak salah karena menetap.
Cinta bukanlah soal kedatangan,
Tapi seberapa dalam ia tetap.

Kini aku tak lagi menunggu kabar,
Aku hanya duduk dan menyapa waktu.
Karena pada hati yang benar-benar sabar,
Rindu tak lagi butuh temu.

Jika suatu hari kau lewat di sini,
Dan kau lihat cincin di atas ratu,
Itu bukan permintaan agar kembali,
Itu hanya tanda: aku pernah mencintaimu.


Kirim