Memory Camera
Jari-jarinya yang mungil menggenggam sebuah kamera tua, "Yashica" tertulis dengan huruf yang mulai memudar seolah waktu pun tak sanggup menghapus namanya dari tubuh logam yang lusuh.
Ia tidak menatap kamera itu seperti menatap benda mati. Ia menatapnya seperti seorang ibu menatap anak yang tak pernah ia lahirkan, namun selalu ia peluk dalam mimpi.
Kamera itu adalah saksi bukan dari peristiwa besar yang mengguncang dunia, tetapi dari momen kecil yang membuat dunia ini pantas dihuni.
Sepasang kakinya bersilang di atas sofa, mengenakan sepatu kanvas biru sepatu yang tampak remaja, namun telah berjalan melewati usia yang lebih tua dari waktu. Ia mengenakan mantel kelabu, panjang dan hangat, namun di balik kain itu ada hati yang telanjang, masih menggigil oleh kehilangan yang tak bisa dinamai.
“Apakah engkau masih bisa melihat?” bisiknya pada kamera itu, seperti seorang kekasih yang bertanya pada mata orang yang telah buta karena cinta.
Kamera itu diam. Tapi dalam diamnya, ia berkata banyak.
“Engkau tahu betapa aku mencintai dunia ini ketika aku menatapnya lewat dirimu. Tapi dunia tak pernah mencintaiku kembali. Ia hanya membiarkanku lewat.”
Ia mengangkat kamera itu ke wajahnya, seolah ingin mengabadikan ruang hampa di sekitarnya. Tapi bukan itu yang ia potret yang ia cari adalah potongan-potongan dirinya yang pernah bersinar dalam sorotan cahaya.
Setiap klik rana adalah puisi.
Setiap gambar adalah doa yang belum selesai.
Setiap bingkai adalah bekas luka yang diperindah oleh waktu.
Ia teringat hari-hari ketika kamera itu digunakan oleh ayahnya. Seorang lelaki sederhana yang tidak pernah memotret untuk pamer, tapi untuk mengingat. Ayahnya pernah berkata:
"Setiap gambar adalah janji pada masa depan bahwa masa lalu pernah indah."
Tapi kini ayahnya telah tiada. Gambar-gambar itu masih ada. Tapi suara, aroma, dan sentuhan semua menghilang, menyisakan ruang kosong di antara senyum-senyum yang membeku di foto-foto tua.
Ia teringat ibunya yang jarang tertawa, tapi selalu tampak lembut di balik lensa. Ia memotret ibunya di dapur, di taman, bahkan di saat hujan. Namun dari semua foto itu, tidak satu pun yang mampu menangkap kerinduan yang kini mencengkeram jantungnya.
Dan ia juga teringat seseorang... lelaki yang matanya seperti senja yang tak pernah selesai hangat, namun selalu pamit.
“Apakah kau tahu,” bisiknya pada kamera, “bahwa aku memotretnya berkali-kali, tapi tidak satu pun gambarnya bisa menyimpan cintaku sepenuhnya?”
Karena ada hal-hal yang terlalu besar untuk disimpan dalam bingkai kecil.
Ia menyandarkan tubuhnya, dan membiarkan waktu mengambil gambarnya. Bukan dengan kamera, tapi dengan kenangan. Sebab, waktu adalah fotografer paling setia ia tak pernah meminta pose, tak pernah meminta senyum. Ia hanya menangkap kita apa adanya, tanpa sempat berkata, “Tunggu, aku belum siap.”
Kamera di tangannya kini terasa berat. Bukan karena logamnya, tapi karena semua kenangan yang terkunci di dalamnya. Ia tahu bahwa suatu hari nanti, kamera ini akan rusak, atau hilang. Tapi yang tidak akan rusak adalah rasa — sebab rasa tidak terbuat dari logam, melainkan dari luka yang tidak pernah diobati.
Sambil memandangi langit di luar jendela, ia berkata dalam hati:
"Aku tidak sendiri. Aku hanya sedang berbicara dengan bagian terdalam dari diriku sendiri."
Kesendirian adalah tempat di mana manusia bertemu dirinya sendiri. Dan di sanalah Tuhan biasanya berbisik paling pelan agar kita mendengarnya lebih dalam.
Ia tahu, kamera itu tidak akan menjawab. Tapi dalam diam kamera, ia menemukan suara. Dalam gambar, ia menemukan kehilangan. Dan dalam kehilangan, ia menemukan makna.
Senja semakin gelap. Cahaya mulai merunduk keluar dari jendela. Namun gadis itu masih duduk di sana, menggenggam kamera tua, dengan hati yang perlahan-lahan belajar menerima bahwa beberapa hal memang tak perlu diabadikan — cukup dirasakan, cukup dikenang.
Dan saat malam datang, ia pun berdiri, meletakkan kameranya di meja kayu, lalu melangkah perlahan bukan untuk pergi, tapi untuk kembali kepada dirinya sendiri.
Sebab hidup ini bukan tentang merekam segalanya. Tapi tentang mencintai hal-hal yang kita tahu, suatu hari nanti, akan pergi.
“Segala yang kau abadikan bukan untuk dimiliki, tetapi untuk kau lepaskan dengan sepenuh cinta. Seperti daun yang jatuh dari pohon, ia tak menyesali musim.”
Cahaya yang Tak Kembali"
tapi langit berubah warna.
Aku memotret wajahmu,
tapi hatiku yang tak abadi.
Kamera tua ini,
hanya bisa menangkap bentuk,
tapi tidak detak,
tidak peluh,
tidak bisik halus namamu
yang masih berkeliaran
di sela-sela rambutku
saat angin mengetuk jendela.
yang paling nyata dalam hidup
adalah yang tak pernah sempat kupotret.