On The Verge Of Dusk
Ia tidak tahu sejak kapan ia merasa kehilangan sesuatu atau seseorang. Ia hanya tahu, bahwa setiap hari menjelang senja, ada rasa aneh yang tumbuh dalam dirinya: sejenis sunyi yang tidak bisa dijelaskan, seolah dunia pernah utuh lalu perlahan-lahan mulai retak.
Anak itu mengenakan pakaian sederhana, dengan sepatu yang telah lelah berjalan. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya, namun tidak cukup untuk menyembunyikan sorot matanya yang lelah berpikir, lelah merasa, dan lelah menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa.
Ia memandangi matahari yang perlahan turun dan berkata dalam hati,
"Mengapa engkau begitu setia datang setiap pagi, hanya untuk pergi setiap sore? Apakah itu takdirmu atau pilihanmu?"
Kala itu, seolah matahari mendengarnya. Tidak dengan kata, tidak dengan bunyi, tetapi dengan keheningan yang menjawab lebih dalam dari segala ucapan.
"Aku datang dan pergi," bisik sang matahari melalui cahaya hangatnya,
"karena keberadaanku bukan untuk menetap,
tetapi untuk mengajarkan:
bahwa segala yang datang padamu, datang untuk kemudian berlalu,
dan hanya lewat kepergianlah kau bisa belajar menghargai kehadiran."
Anak itu diam. Tidak menjawab. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang bergeser perlahan. Seperti daun yang jatuh bukan karena angin, melainkan karena sudah waktunya.
Ia teringat seseorang seorang teman, mungkin lebih dari sekadar teman. Seseorang yang dulu duduk di tempat yang sama, tertawa bersama, membicarakan hal-hal besar dengan kata-kata kecil.
Kini, hanya ia sendiri. Dan tempat itu terasa lebih lapang, lebih lengang, dan lebih dalam dari sebelumnya.
"Apakah semua yang indah memang harus pergi?" tanyanya lirih.Dan angin menjawab pelan,"Tidak semua yang pergi, benar-benar hilang.Ada yang tinggal sebagai rasa.Ada yang menetap sebagai cahaya kecil di dalam dadamu,yang takkan pernah padam."
Ia menunduk, mengambil segenggam tanah, dan merasakannya di telapak tangannya. Butiran kecil itu runtuh dari sela-sela jarinya seperti waktu yang tak bisa digenggam.
"Beginikah aku akan berakhir nanti?" tanyanya.
"Menjadi debu, menjadi tak berarti,
ditinggalkan dunia seperti daun kering di musim gugur?"
Namun bumi berkata:
"Tidak, anakku. Engkau tidak dilahirkan hanya untuk menjadi tanah kembali.
Engkau adalah jiwa yang dikirim ke dunia bukan untuk bertahan,
tapi untuk tumbuh.
Dan bila kelak tubuhmu kembali padaku,
jiwamu akan melanjutkan langkahnya ke tempat yang tak dikenal,
namun telah lama menunggumu."
Langit mulai berganti warna. Jingga menjadi biru tua. Cahaya memudar, dan bintang pertama mulai muncul di langit, seperti pertanda bahwa malam tak pernah datang sendirian ia selalu membawa mimpi bersamanya.
Anak itu tak lagi gelisah. Ia tidak memiliki semua jawaban, tapi ia mulai menerima bahwa mungkin memang tak semua hal harus dijawab. Beberapa cukup dirasakan. Beberapa cukup dilepaskan.
Dan mungkin, kehilangan bukanlah akhir dari kebahagiaan tetapi bagian darinya.
Ia berdiri. Debu jatuh dari lututnya. Ia menatap sekali lagi ke arah tempat matahari telah tenggelam. Tapi kini ia tahu: matahari memang pergi, tapi ia tidak pernah mati. Ia hanya berpindah tempat dan besok akan datang kembali, di sisi yang berbeda.
Dan begitu pun harapan. Mungkin tidak tinggal di tempat yang sama,
tapi ia akan selalu datang bagi mereka yang bersedia menunggu dalam diam.
Anak itu melangkah pelan, menyusuri jalan pulang yang tidak benar-benar ia kenali, tapi kali ini, langkahnya tidak dibimbing oleh kaki melainkan oleh cahaya kecil yang kini hidup dalam dirinya.
Dan ketika malam tiba sepenuhnya,
dan dunia tenggelam dalam keheningan,
anak itu meninggalkan satu puisi di tanah yang pernah ia duduki.
Ia menulisnya tidak dengan tinta,
tapi dengan keberanian yang tumbuh dari kehilangan.
Senja
Aku berbicara pada angin,
bukan untuk didengar,
tapi agar hatiku tahu
bahwa sunyi pun bisa menjadi jawaban.
Aku memandangi bayanganku di tanah,
dan menyadari:
bahwa aku bukanlah mereka yang telah pergi,
bukan pula hari-hari yang telah hilang,
tetapi aku adalah perjalanan itu sendiri.
Dan bila aku harus menjadi tanah suatu hari nanti,
biarlah aku menjadi tanah yang menyuburkan,
bukan tanah yang dilupakan.
Karena aku telah hidup,
telah mencinta,
dan telah menerima senja
sebagai guru yang paling jujur.