About A Cat

Pada suatu pagi yang sunyi, saat matahari masih malu-malu menembus jendela langit dan bayangan belum lagi tumbuh dari kaki manusia, ada seorang anak laki-laki bersandar pada dunia yang diam duduk bersimpuh di antara ubin-ubin jalanan yang dingin, mengenakan baju merah seperti harapan yang menyala dalam dada orang-orang muda. 

Ia bukan siapa-siapa, dan oleh dunia ia pun tak diharapkan menjadi siapa-siapa. Namun di dalam dadanya, dunia itu sendiri menggeliat seperti embun yang menetes dari hati bumi. Di hadapannya, seekor kucing kecil duduk dengan tenang. Bulunya cokelat muda, seperti tanah yang menerima jejak pertama dari kaki manusia setelah hujan panjang.

Kucing itu bukan milik siapa-siapa, karena tak ada yang dapat memiliki jiwa yang bebas. Ia adalah anak dari jalanan, kekasih dari senja, dan teman rahasia malam. Ia tak meminta apapun, namun ketika anak laki-laki itu menyentuh kepala kecilnya dengan lembut, ia menutup mata seperti sedang mendengar doa yang tidak disampaikan lewat kata-kata.

Dan sang anak pun berkata dalam hatinya, sebagaimana anak-anak berbicara kepada angin dan batu dan makhluk-makhluk kecil yang tak bisa membaca tulisan manusia:

"Wahai makhluk sunyi, engkau duduk dalam damai yang bahkan para pendeta pun tak bisa jangkau. Apakah engkau mengetahui rahasia yang dilupakan manusia? Apakah dunia bagimu hanyalah selimut hangat cahaya dan bayangan, tanpa beban akan masa lalu dan rasa bersalah yang tumbuh di hati mereka yang terlalu banyak berpikir?"

Kucing itu tidak menjawab, karena jawaban tidak selalu datang dalam bentuk suara. Jawaban sejati adalah kehadiran itu sendiri. Ia menganggukkan kepalanya pelan, seperti mengatakan: “Diamlah, anak manusia. Segala yang kau cari telah ada dalam dadamu sebelum kau belajar menyebut nama-nama benda.”

Sang anak mengusap bulu halus kucing itu, dan dalam sentuhan itu ia merasakan sesuatu yang tak pernah diajarkan dalam buku. Di dunia yang terburu-buru, di mana setiap orang mengejar sesuatu yang mereka sendiri tak pahami, seekor kucing duduk dalam kesempurnaan saat ini. Tidak terburu, tidak tertahan.

Dan anak itu berpikir, "Aku ingin hidup seperti engkau. Aku ingin tahu bagaimana rasanya tidak ingin menjadi siapapun kecuali diriku sendiri. Aku ingin tidur tanpa rasa takut akan hari esok dan bangun hanya untuk mencintai pagi yang lain.”

Kucing itu membuka matanya perlahan, dan melihat sang anak seperti seorang ibu melihat anaknya yang sedang bertanya tentang langit. Lalu ia berdiri, meregangkan tubuh kecilnya, dan berjalan perlahan ke ujung gang. Ia tak berkata apa-apa. Tapi dalam langkahnya, ia menyampaikan satu pelajaran terakhir:

"Cinta yang sejati tidak datang dari kepemilikan, tapi dari keberadaan bersama. Dan keindahan tidak meminta untuk diakui, ia hanya hadir dan berlalu, seperti cahaya sore yang jatuh di jendela seorang penyair yang tak pernah dikenal."

Anak itu pun duduk sendiri. Ia tidak merasa ditinggalkan, karena kini ia memiliki sesuatu yang tak bisa diambil oleh waktu atau kematian: pertemuan yang sederhana, namun dalam, dengan makhluk kecil yang mengajarkannya bahwa dunia bisa menjadi lembut, bahkan di tengah kerasnya batu-batu jalan.

Dan langit pun mulai berwarna emas.

"Ketika engkau menyentuh seekor kucing dengan kasih, engkau tak hanya menyentuh tubuhnya engkau menyentuh sunyi dunia, dan sunyi itu menyentuhmu kembali."

Dalam Sentuhan yang Tak Bernama

Di jalan yang dilupakan oleh waktu,
seorang anak bersimpuh
bukan karena lelah,
melainkan karena cinta yang datang tanpa aba-aba.

Seekor kucing duduk dalam diam,
matanya separuh tidur,
separuh surga.

Anak itu mengulurkan tangannya,
lembut seperti doa pertama.
Ia tak ingin menjinakkan,
hanya menemani.

Dan di antara mereka,
waktu berhenti sejenak.
Dunia menjadi kecil,
sebatas dua jiwa
yang tak saling meminta,
namun saling hadir.

Kucing itu tak berbicara,
tapi dalam diamnya ia berkata:
"Engkau tak harus mengerti cinta,
cukup hadir dan biarkan ia bernapas."


Kirim